Samarinda – Pemuda di daerah pelosok Samarinda, khususnya di Kecamatan Sungai Kunjang, semakin mempertanyakan arah masa depan pendidikan di bawah kepemimpinan presiden saat ini. Dalam diskusi yang digelar oleh Himpunan Pelajar Mahasiswa Sungai Kunjang (HIPMASKU), mereka menyoroti ketimpangan akses pendidikan, mahalnya biaya kuliah, serta ketidakadilan dalam kebijakan perguruan tinggi.
“Pemerintah terus berbicara tentang generasi emas 2045, tetapi dengan kondisi pendidikan seperti ini, yang kami rasakan justru generasi cemas. Bagaimana kami bisa menjadi SDM unggul jika pendidikan tinggi semakin sulit diakses, beasiswa dikurangi, dan biaya kuliah semakin mahal?” ujar Ketua Umum HIPMASKU, Arianto.
Janji Pemerintah vs. Realitas di Pelosok
Arianto menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi hak seluruh rakyat tanpa terkecuali. Namun, hingga saat ini, masih banyak sekolah di daerah pelosok Sungai Kunjang yang mengalami kekurangan tenaga pengajar, fasilitas yang tidak memadai, serta akses internet yang terbatas.
Menurut data dari Dinas Pendidikan Kalimantan Timur, sekitar 30% sekolah di daerah Samarinda (Sungai Kunjang) dan sekitarnya masih kekurangan fasilitas dasar seperti laboratorium, perpustakaan, dan akses internet yang layak. “Kami di pelosok ini seperti ditinggalkan. Seakan-akan pemerintah hanya peduli pada sekolah-sekolah di pusat kota,” tambahnya.
Perguruan Tinggi: Makin Mahal, Makin Tidak Terjangkau
Pemuda di Sungai Kunjang juga menyoroti ketidakadilan dalam akses pendidikan tinggi. “Kuliah semakin sulit dijangkau bagi kami yang berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Biaya kuliah naik, sementara bantuan pendidikan justru semakin berkurang,” ujar seorang mahasiswa dari daerah tersebut.
Menurut laporan Kementerian Keuangan, anggaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah mengalami pengurangan dari Rp 12,9 triliun menjadi Rp 11,3 triliun pada tahun 2024. Hal ini berakibat pada berkurangnya jumlah penerima beasiswa, yang mayoritas berasal dari keluarga kurang mampu.
“Mahasiswa dari daerah seperti kami semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Seharusnya pemerintah memperluas beasiswa, bukan malah menguranginya,” tegas Arianto.
Selain itu, kebijakan afirmasi dalam rekrutmen CPNS dan PPPK yang lebih mengutamakan lulusan perguruan tinggi tertentu juga mendapat kritik. “Banyak lulusan perguruan tinggi dari daerah yang justru tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan lulusan dari universitas-universitas besar. Ini menunjukkan ketimpangan yang masih terjadi dalam dunia pendidikan tinggi,” tambahnya.
Mahalnya Biaya Pendidikan: Mimpi yang Kian Sulit Dicapai
Selain ketimpangan fasilitas dan kebijakan yang tidak berpihak, pemuda di Sungai Kunjang juga menyoroti semakin mahalnya biaya pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata biaya pendidikan tinggi di Indonesia meningkat hingga 10% setiap tahunnya. “Dengan kenaikan biaya kuliah ini, banyak mahasiswa dari daerah terpaksa berhenti kuliah atau harus bekerja ekstra untuk bisa bertahan. Ini jelas bertentangan dengan janji pemerintah yang katanya ingin menciptakan SDM unggul,” tambah Arianto.
Jika kondisi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan gagal mencetak generasi emas yang diimpikan. Justru, yang terjadi adalah generasi cemas—pemuda yang tidak yakin akan masa depannya karena pendidikan semakin sulit diakses dan pekerjaan semakin sulit didapatkan.
Tuntutan Pemuda Sungai Kunjang
Sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan pendidikan di daerah mereka, pemuda pelosok Sungai Kunjang menegaskan beberapa tuntutan kepada pemerintah:
- Pemerataan akses pendidikan – Pemerintah harus memastikan sekolah-sekolah di daerah pinggiran mendapatkan fasilitas yang sama dengan sekolah di perkotaan.
- Peningkatan akses perguruan tinggi – Pemerintah harus memperluas beasiswa pendidikan tinggi agar mahasiswa dari daerah dapat melanjutkan studi tanpa terkendala biaya.
- Penghapusan kebijakan diskriminatif dalam rekrutmen CPNS dan PPPK – Pemerintah harus memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh lulusan perguruan tinggi, baik dari universitas besar maupun dari daerah.
- Kebijakan pendidikan yang lebih pro-rakyat – Pemerintah harus membatalkan pengurangan anggaran KIP Kuliah dan memastikan bahwa pendidikan tinggi benar-benar dapat diakses oleh seluruh masyarakat.
“Apakah kita benar-benar sedang menuju generasi emas, atau justru menciptakan generasi cemas? Jika pemerintah tidak segera bertindak, maka impian 2045 hanyalah utopia bagi mereka yang mampu membayar pendidikan,” tutup Arianto.
Dengan semakin banyaknya kritik dari pemuda di pelosok Samarinda, khususnya daerah Sungai Kunjang, diharapkan pemerintah segera mengambil langkah nyata agar pendidikan benar-benar bisa dinikmati oleh seluruh rakyat tanpa diskriminasi.
(Red/*)