JEPARA — Ribuan warga memadati Desa Tegalsambi, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, untuk menyaksikan tradisi Perang Obor pada Senin malam (9/6/2025).
Tradisi tahunan ini digelar setiap Senin Pahing malam Selasa Pon di bulan Dzulhijah, dan tahun ini jatuh pada 9 Juni. Acara ini tidak hanya menyajikan pertunjukan budaya, tetapi juga sarat dengan makna spiritual serta semangat pelestarian budaya.
Momen Sakral Perang Obor
Acara tersebut dihadiri oleh Bupati Jepara, H. Witiarso, S.E., dan Wakil Bupati Jepara, H.M. Ibnu Hajar (Gus Hajar), beserta jajaran Forkopimda, para kepala OPD Kabupaten Jepara, serta sejumlah tokoh masyarakat.
Kehadiran para pemimpin daerah ini mencerminkan komitmen bersama untuk menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya lokal yang menjadi identitas Jepara.
Warisan Budaya yang Terus Terjaga
Perang Obor merupakan bagian dari tradisi sedekah bumi yang rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Tegalsambi setiap tahun. Tradisi ini bukan hanya sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen dan berkah kehidupan, tetapi juga sebagai simbol pelestarian warisan budaya yang diturunkan dari leluhur.
Kepala Desa Tegalsambi, Agus Santoso, menyatakan, “Perang Obor bukan sekadar tontonan, melainkan warisan budaya yang memperkuat identitas Jepara dan menjadi kebanggaan bersama.”
Menurut cerita rakyat setempat, tradisi ini bermula dari kisah dua tokoh desa, Mbah Gemblong dan Kyai Babatan, yang konon bertarung dengan obor dari pelepah kelapa dan daun pisang.
Peristiwa itu terjadi saat wabah penyakit menyerang ternak warga, dan wabah tersebut hilang setelah pertarungan tersebut. Sejak saat itu, masyarakat percaya bahwa api obor memiliki daya untuk mengusir bala dan mengadakan Perang Obor sebagai bentuk syukur dan pelestarian nilai-nilai leluhur.
Prosesi dan Pertarungan Simbolik
Ritual dimulai dengan penyulutan obor pertama oleh Bupati Jepara, H. Witiarso Utomo, sebagai tanda dimulainya prosesi. Dua kelompok pemuda kemudian bertarung secara simbolik, saling menyambar dengan obor yang menyala, menghasilkan percikan bara yang menerangi malam.
Sekitar 400 ikat daun pisang kering disiapkan oleh panitia sebagai senjata api tradisional dalam pertarungan tersebut.
Agus Santoso menambahkan,
“Tradisi ini bukan hanya hiburan, tetapi juga sarat makna spiritual dan sejarah lokal. Kita ingin agar generasi muda bisa meneruskan dan mencintai tradisi ini.”
Keberanian dan Semangat Warga
Suasana yang membara dan sorak-sorai penonton tidak jarang menyebabkan baik pemain maupun penonton mengalami luka bakar ringan akibat percikan api. Meskipun demikian, semangat mereka tetap menyala. Sebagai langkah antisipasi, desa telah menyiapkan obat tradisional berbahan minyak kelapa dan bunga-bungaan yang dikenal dengan sebutan minyak londoh untuk merawat luka dan memulihkan stamina peserta.

Bupati Jepara, H. Witiarso Utomo, mengapresiasi semangat warga dalam menjaga dan mengembangkan tradisi ini.
“Alhamdulillah malam ini berlangsung sangat meriah. Kami ingin tahun depan lebih semarak lagi. Kami telah berkomunikasi dengan Bappeda agar ada dukungan lebih besar, dan kami berharap rekan-rekan media juga turut membantu dalam promosi,” ujarnya optimistis.
Inovasi dan Pelibatan Masyarakat dalam Tradisi
Selain acara utama, tahun ini juga diadakan berbagai inovasi dalam sesi pra-acara untuk memperpanjang masa tinggal wisatawan. Pengenalan batik motif Perang Obor serta pelatihan Tarian Obor kepada siswa-siswi SD dan SMP menjadi bagian dari strategi edukatif dan promosi budaya.
“Harapannya, wisatawan tidak hanya datang untuk menonton, tetapi juga terlibat, belajar, dan memahami nilai-nilai budaya lokal,” jelas Agus Santoso.
Antusiasme pengunjung tidak hanya datang dari warga sekitar, melainkan juga dari berbagai daerah, seperti Jakarta, Semarang, Kudus, Rembang, bahkan luar provinsi. Kehadiran mereka turut meramaikan perhelatan budaya yang unik dan sakral ini.
Makna Perang Obor bagi Generasi Mendatang
Agus Santoso menegaskan,
“Ini menunjukkan bahwa Perang Obor memiliki daya tarik budaya yang kuat, otentik, dan tetap relevan di tengah zaman modern.”
Usai pertarungan simbolik selesai, seluruh peserta kembali ke rumah petinggi desa untuk beristirahat dan menerima perawatan. Dalam suasana tenang dan khidmat, semangat kebersamaan dan rasa syukur kembali mengalir.
Bagi masyarakat Tegalsambi, Perang Obor adalah simbol dari cahaya warisan yang terus dijaga, bukan hanya nyala api, tetapi nyala sejarah, semangat, dan doa dari para leluhur yang hidup dalam bara budaya.
“Semoga generasi muda tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga penjaga dan pelestari tradisi ini. Api ini adalah cahaya budaya kita sendiri,” pungkas Agus Santoso.
Reporter: Mu’ti H./Syaiful M.
Editor: Bento M.