Oleh: Mu’ti Hartono
Pendahuluan
Perubahan dalam dunia pendidikan memerlukan penyesuaian paradigma, kebijakan, dan implementasi teknis yang matang. Salah satu langkah strategis yang diambil pemerintah adalah transformasi istilah dari PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) menjadi SPMB (Seleksi Penerimaan Murid Baru). Perubahan ini bukan hanya soal nomenklatur, melainkan menyentuh aspek fundamental: keadilan akses, kualitas seleksi, dan respons terhadap dinamika sosial pendidikan.
Artikel ini akan mengulas secara komprehensif bagaimana implikasi perubahan ini, baik dari sisi regulasi, pelaksanaan teknis di lapangan, hingga dampaknya terhadap masyarakat dan siswa.
Dasar Regulasi dan Landasan Yuridis
Perubahan istilah dari PPDB menjadi SPMB memiliki dasar regulasi yang kuat. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya Pasal 82, ditegaskan bahwa penerimaan peserta didik harus dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Ketentuan ini diperkuat oleh Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 serta surat edaran Kementerian Pendidikan terkait sistem zonasi dan seleksi lainnya.
SPMB diharapkan menjawab tantangan sistem sebelumnya—terutama dalam hal pemerataan akses dan kualitas seleksi. Dengan pendekatan berbasis keadilan sosial dan potensi, SPMB menjadi simbol reformasi pendidikan menuju sistem yang inklusif dan responsif terhadap keragaman lokal.
Implikasi Teknis dan Pelaksanaan di Lapangan
Dalam implementasinya, SPMB memperkenalkan lima jalur utama:
- Jalur Domisili (Kuota 50%) – Memprioritaskan peserta didik yang berdomisili dekat dengan sekolah tujuan.
- Jalur Afirmasi (Kuota 20%) – Diperuntukkan bagi peserta dari keluarga tidak mampu atau kelompok rentan.
- Jalur Prestasi (Kuota 25%) – Mengakomodasi siswa dengan prestasi akademik dan non-akademik.
- Jalur Mutasi (Kuota 5%) – Untuk anak-anak dari orang tua yang berpindah tugas.
- Kelas Khusus – Meliputi bidang olahraga, seni, dan keterampilan lainnya dengan bukti kompetensi.
Meskipun sistem ini dinilai lebih komprehensif, pelaksanaan teknis di berbagai daerah masih menghadapi tantangan—mulai dari kesiapan sistem digital, sosialisasi, hingga pengawasan terhadap integritas seleksi. Sekolah harus menyiapkan mekanisme seleksi yang adil, sementara pemerintah daerah wajib memastikan kebijakan dijalankan secara merata.
SPMB dan Pengaturan Rombongan Belajar (Rombel)
Salah satu aspek penting yang berkaitan langsung dengan implementasi SPMB adalah penataan Rombongan Belajar (Rombel). SPMB menentukan seberapa besar jumlah peserta didik baru yang diterima di setiap satuan pendidikan, yang secara otomatis berimplikasi pada jumlah Rombel yang terbentuk.
Sesuai dengan Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, jumlah peserta didik dalam satu Rombel dibatasi sebagai berikut:
SD: maksimal 28 siswa per rombel
SMP: maksimal 32 siswa per rombel
SMA/SMK: maksimal 36 siswa per rombel
Dengan sistem seleksi berbasis SPMB, sekolah harus cermat dalam mengatur kuota penerimaan agar sesuai dengan kapasitas Rombel yang tersedia. Pelanggaran terhadap batas Rombel ini dapat berdampak pada kualitas pembelajaran dan efisiensi pengelolaan sekolah.
SPMB mendorong sekolah melakukan perencanaan yang matang terkait daya tampung dan distribusi Rombel, agar tidak terjadi penumpukan siswa dalam satu kelas atau ketimpangan antarsekolah. Ini sejalan dengan prinsip keadilan dan pemerataan yang menjadi landasan utama transformasi dari PPDB ke SPMB.
Peran Sekolah dan Lingkungan Sekitar
Sekolah memiliki peran strategis dalam menyukseskan implementasi SPMB. Tidak hanya dalam aspek administratif, tetapi juga menjaga integritas seleksi dan memastikan prinsip transparansi. Dukungan lingkungan masyarakat sekitar pun dibutuhkan agar proses ini benar-benar mencerminkan nilai-nilai keadilan.
Fenomena Pilihan Sekolah: Anak vs Orang Tua
Di lapangan sering muncul ketidaksesuaian antara keinginan anak dan kehendak orang tua dalam memilih sekolah. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi citra sekolah, jarak tempuh, dan faktor sosial lainnya. Prof. Anita Lie dari Universitas Katolik Widya Mandala mengungkapkan:
“Pilihan sekolah merupakan hasil dari konstruksi sosial, bukan semata preferensi pribadi. Lingkungan sekitar, nilai-nilai keluarga, serta persepsi tentang kualitas sekolah turut memengaruhi keputusan ini.”
Makna Filosofis dan Psikologis Perubahan Istilah
Perubahan istilah dari PPDB menjadi SPMB memiliki makna filosofis yang dalam. Istilah “seleksi” mengandung semangat keaktifan dan tanggung jawab dalam menentukan peserta didik, bukan sekadar menerima secara administratif.
Dari sisi psikologis, masyarakat diajak untuk memahami bahwa pendidikan bukan sekadar soal “masuk sekolah”, tetapi soal bagaimana menempatkan anak-anak sesuai minat, bakat, dan potensinya.
Prof. Suyanto dari UGM menyatakan:
“Pergantian istilah ini menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sistem seleksi dan memperjelas mekanisme penerimaan siswa baru.”
Perspektif Wakil Presiden: Zonasi dan Keadilan Pendidikan
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka turut menyuarakan dukungannya terhadap transformasi pendidikan ini. Dalam pernyataannya saat mengunjungi sekolah di Solo, ia menyebutkan:
“Sistem zonasi perlu disempurnakan. Zonasi itu penting untuk keadilan, tapi jangan sampai anak-anak yang berprestasi kehilangan kesempatan. Kita butuh sistem seleksi yang adil dan fleksibel.”
Pernyataan ini memperkuat urgensi hadirnya SPMB sebagai sistem seleksi yang tetap mempertahankan semangat zonasi, namun membuka ruang lebih luas bagi afirmasi dan prestasi.
Perubahan Nomenklatur dan Implikasinya
Prof. Arief Rachman menegaskan:
“Kita tidak boleh hanya mengganti nama, namun harus memperbaiki substansi. Pendidikan adalah ruang harapan, bukan hanya prosedur.”
Artinya, transformasi ini menuntut perubahan menyeluruh, dari cara pandang hingga implementasi kebijakan di sekolah dan pemerintah daerah.
Perspektif Pakar Pendidikan
Prof. Abdul Mu’ti menegaskan pentingnya perubahan ini melalui prinsip:
“Al-muhafazah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.”
(Mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.)
Tantangan Implementasi di Lapangan
Masih banyak sekolah dan instansi daerah yang belum mengganti istilah PPDB dalam papan pengumuman atau dokumen resmi. Hal ini disebabkan oleh:
- Keterbatasan sosialisasi – Banyak pihak belum memahami makna filosofis perubahan ini.
- Kuatnya ingatan kolektif – Istilah PPDB telah mengakar selama bertahun-tahun.
- Kurangnya pelatihan – Pengelola pendidikan belum diberikan pemahaman menyeluruh tentang semangat di balik istilah SPMB.
Prof. Suyanto mengingatkan:
“Perubahan istilah adalah pintu menuju perubahan sistem berpikir. Jika pintu itu tidak benar-benar dibuka dan dimasuki, maka yang berubah hanya tampilan luar, bukan nilai yang mendasari pendidikan.”
Penutup
Transformasi dari PPDB ke SPMB bukanlah perubahan semata dalam bentuk kata, tetapi gerakan menuju keadilan, inklusivitas, dan kualitas dalam sistem pendidikan nasional. Dengan regulasi yang berpihak pada keadilan sosial, pelaksanaan yang transparan, serta dukungan dari semua elemen masyarakat, SPMB diharapkan menjadi fondasi pendidikan masa depan.
Sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara:
“Pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksud pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Mari jadikan SPMB bukan sekadar akronim baru, tetapi simbol harapan dan komitmen untuk mewujudkan pendidikan yang lebih adil, bermartabat, dan berorientasi pada masa depan.*)
*) Penulis adalah staf pendidik di SMP Negeri 1 Sarang, Pemerhati Pendidikan, dan Jurnalis Media Fakta Hukum Indonesia, tinggal di Rembang, Jawa Tengah.