Kota Bekasi — Memasuki 100 hari masa kerja, Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi menunjukkan fokus pada program penertiban dan penataan kawasan kota. Sejumlah area yang sebelumnya dipadati pedagang kaki lima (PKL) mulai ditertibkan demi menciptakan wajah kota yang lebih tertib dan nyaman.
Langkah ini dinilai membawa dampak positif dari sisi estetika dan ketertiban lingkungan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan para pedagang kecil yang menggantungkan penghasilan harian dari berjualan di titik-titik tersebut.
Sayangnya, penertiban yang dilakukan di sejumlah lokasi dinilai tidak diiringi solusi konkret bagi para pedagang terdampak. Banyak PKL mengaku hanya menerima surat peringatan tanpa adanya tawaran relokasi atau program pendampingan usaha.
“Yang kami sesalkan, tidak ada dialog dari pemerintah kelurahan. Kami hanya menerima peringatan, tanpa solusi. Padahal, kehidupan kami bergantung dari situ,” ungkap seorang pedagang yang enggan disebut namanya.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat tingkat pengangguran di Kota Bekasi masih tergolong tinggi. Jika penertiban dilakukan tanpa pendekatan humanis dan kebijakan yang inklusif, dikhawatirkan akan memperparah kondisi sosial ekonomi masyarakat bawah.
Sebagai kota penyangga Ibu Kota, Bekasi diharapkan mampu menjadi teladan dalam menciptakan kebijakan yang tidak hanya menata kota secara fisik, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan sosial dan ekonomi warganya.
Potensi PAD dari Rambu Petunjuk Beriklan
Di tengah upaya penertiban tersebut, kritik juga muncul terhadap pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang dinilai belum optimal. Salah satu potensi yang belum tergarap maksimal adalah pemanfaatan fasilitas publik seperti rambu pendahulu petunjuk jurusan (RPPJ), khususnya yang memuat unsur periklanan.
Wakil Ketua LSM Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) Distrik Kota Bekasi, Delvin Chaniago, menyoroti penggunaan rambu-rambu ini yang menurutnya belum dikelola secara transparan.
“Rambu-rambu itu dibiayai dari pajak masyarakat dan seharusnya bisa menjadi objek pajak tambahan, terutama jika mengandung elemen iklan. Namun kami menduga ada praktik tidak sehat dalam pengelolaannya,” ujar Delvin.
Ia menduga adanya keterlibatan oknum di dinas terkait, terutama Dinas Perhubungan, dalam praktik pengelolaan yang tidak akuntabel. Bahkan, ia menyebutkan indikasi adanya kolusi yang merugikan potensi pendapatan daerah.
Delvin juga menekankan pentingnya peran aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan tersebut demi menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Evaluasi Andalalin dan Harapan Publik
Sebelumnya, Wali Kota Bekasi sempat menyampaikan melalui media sosial bahwa evaluasi terhadap sistem lalu lintas dan kajian Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin) akan dilakukan setiap lima tahun. Evaluasi ini diharapkan dapat menjadi momentum pembukaan potensi PAD baru, tanpa harus membebani masyarakat dengan pajak tambahan.
Berbagai elemen masyarakat sipil dan swasta berharap Pemkot Bekasi ke depan dapat meningkatkan PAD secara adil dan berkelanjutan, tidak semata-mata melalui penarikan pajak, melainkan juga lewat optimalisasi aset daerah dan potensi ekonomi yang selama ini belum digarap maksimal.
Dengan tata kelola yang baik dan pendekatan yang berkeadilan, Kota Bekasi diharapkan mampu menjawab tantangan pembangunan kota yang ramah, tertib, dan inklusif dalam jangka panjang.
(Roni)