GORONTALO – Setelah bertahun-tahun menunggu janji yang tak kunjung ditepati, masyarakat petani di Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo, kembali bersuara lantang menuntut hak mereka atas lahan perkebunan sawit yang dikuasai perusahaan di bawah bendera Palma Group.
Mereka menilai, perusahaan sawit yang terdiri dari PT Heksa Jaya Abadi, PT Tri Palma Nusantara, dan PT Agro Palma Katulistiwa telah melanggar kewajiban hukum untuk memberikan 20 persen kebun plasma kepada masyarakat sekitar, sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah.
Ketiga perusahaan tersebut diketahui sudah berhenti beroperasi sejak 30 November 2019, berdasarkan keterangan Petrus Wijoyo, selaku Kepala Perwakilan Direktur Palma Group. Namun sebelum berhenti, perusahaan sempat melakukan panen sejak tahun 2018 tanpa pernah merealisasikan hak plasma bagi warga.
“Dari awal kami hanya dijanjikan kemitraan dan bagi hasil. Tapi sampai sekarang, janji itu tak pernah ditepati. Padahal perusahaan sudah lama panen dan menikmati hasilnya,” ujar Yamin, Koordinator Petani Pulubala, kepada wartawan, Senin (1/9/2025).
Perusahaan Dianggap Abaikan Aturan HGU
Berdasarkan catatan masyarakat dan dokumen resmi, izin usaha perkebunan (IUP) tiga perusahaan tersebut ditandatangani oleh Wakil Bupati Gorontalo saat itu, Toni Yunus. Namun, menurut petani, sejak izin diterbitkan tidak ada satupun kebun masyarakat (plasma) yang direalisasikan.
Padahal, kewajiban tersebut diatur tegas dalam Pasal 27 huruf (i) dan Pasal 58 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, yang menyebutkan bahwa pemegang Hak Guna Usaha (HGU) wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling sedikit 20 persen dari luas tanah HGU dan wajib melaksanakannya dalam jangka waktu tiga tahun sejak HGU diterbitkan.
Selain itu, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Nomor 7 Tahun 2017 juga memperkuat aturan serupa, yakni bahwa bagi perusahaan dengan luas HGU di atas 250 hektar, 20 persen lahan wajib dialokasikan untuk masyarakat dalam bentuk kemitraan plasma.
“Perusahaan sawit di Pulubala sudah panen sejak 2018, tapi plasma tak pernah ada. Itu artinya mereka tidak patuh terhadap kewajiban hukum. Pemerintah tidak boleh diam,” tegas Yamin.
Petani Tuntut Pencabutan HGU dan Pengembalian Lahan
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan saat konsolidasi, Koalisi Petani Pulubala untuk Keadilan Agraria menyampaikan tiga tuntutan utama:
- 1. Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Pertanian segera mencabut izin HGU Palma Group di wilayah Gorontalo karena tidak memenuhi kewajiban hukum.
- 2. Lahan eks-HGU dikembalikan kepada masyarakat pemilik lahan, untuk dikelola secara koperasi rakyat atau kelompok tani.
- 3. Dilakukan audit hukum dan administratif terhadap proses penerbitan izin usaha perkebunan, termasuk dugaan maladministrasi oleh pejabat daerah.
Petani juga menyatakan akan mengirimkan surat resmi ke Kantor Wilayah BPN Provinsi Gorontalo untuk meminta konfirmasi status HGU ketiga perusahaan tersebut, termasuk apakah kewajiban pembangunan plasma pernah diverifikasi.
Selain itu, Koalisi juga akan melayangkan pengaduan ke Ombudsman RI dan Komisi II DPR RI, guna mendorong evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan HGU yang dianggap merugikan rakyat.
Analisis Hukum: HGU Bisa Dicabut
Pakar hukum agraria dari Universitas Negeri Gorontalo, Dr. Hamsa Karim, SH., MH, menjelaskan bahwa jika perusahaan terbukti tidak melaksanakan kewajiban plasma selama lebih dari tiga tahun sejak izin HGU diterbitkan, maka status HGU-nya dapat dievaluasi bahkan dicabut.
“Pasal 17 huruf (c) PP Nomor 40 Tahun 1996 dan Pasal 58 PP Nomor 18 Tahun 2021 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mencabut HGU jika pemegang hak melalaikan kewajibannya. Lahan tersebut bisa dikembalikan menjadi tanah negara dan didistribusikan ke masyarakat melalui reforma agraria,” jelasnya.
Pemerintah Diminta Tak Tutup Mata
Koalisi Petani Pulubala berharap pemerintah daerah tidak menutup mata terhadap penderitaan masyarakat yang selama bertahun-tahun kehilangan hak atas tanah mereka sendiri.
“Kami tidak menolak investasi, tapi kami menolak ketidakadilan. Perusahaan sudah pergi, tapi bekasnya meninggalkan luka sosial dan ekonomi yang dalam,” ungkap salah seorang tokoh masyarakat Pulubala.
Petani menegaskan, jika pemerintah tidak merespons tuntutan ini, mereka akan mengajukan gugatan hukum dan permohonan pencabutan HGU secara resmi ke Kementerian ATR/BPN di Jakarta.
Kasus ini menambah panjang daftar konflik agraria di sektor perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Di tengah semangat reforma agraria yang digaungkan pemerintah, nasib petani seperti di Pulubala menjadi ujian nyata atas keberpihakan negara terhadap rakyat kecil di tanahnya sendiri.
Reporter: Yamin Dopa
Editor: Adunk
Sumber: Koalisi Petani Pulubala, Dokumen Resmi, Wawancara Lapangan














