Tantangan Profesi Jurnalis di Era Disinformasi Digital

Ade Muksin

Oleh: Ade Muksin

Di era digital yang serba cepat ini, produksi dan konsumsi informasi mengalami perubahan drastis. Media sosial, platform berbagi video, dan layanan pesan instan memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dan informasi. Namun, kemudahan tersebut sekaligus memunculkan tantangan besar bagi profesi jurnalis: maraknya disinformasi yang mengaburkan batas antara fakta dan manipulasi.

Disinformasi bukan sekadar kabar keliru yang tersebar tanpa sengaja. Banyak di antaranya dirancang secara sistematis untuk menggiring opini publik, memecah belah masyarakat, hingga melemahkan institusi demokrasi. Fitnah tokoh publik, hoaks politik, hingga narasi provokatif menyebar dalam hitungan detik tanpa filter verifikasi.

Peran Vital Jurnalis sebagai Penjaga Kebenaran

Dalam situasi seperti ini, profesi jurnalis menjadi semakin krusial. Jurnalis bukan sekadar penyampai kabar, tetapi pelindung hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar. Melalui verifikasi ketat, pemilihan narasumber yang kredibel, serta keberimbangan sudut pandang, jurnalis memastikan masyarakat terhindar dari manipulasi.

Namun, idealisme jurnalistik sering terbentur realitas. Tekanan ekonomi media, persaingan konten yang sengit, dan tuntutan kecepatan publikasi membuat standar verifikasi kerap dikompromikan. Di tengah bisnis yang bertumpu pada klik dan algoritma, konten sensasional sering dianggap lebih “menguntungkan” daripada laporan mendalam berbasis data.

Algoritma, Polarisasi, dan Tantangan Baru

Landscape informasi digital memperkenalkan aktor tak kasat mata: algoritma. Platform digital mendorong konten yang paling memancing emosi, bukan yang paling akurat. Akibatnya, publik mudah terjebak dalam gelembung informasi (echo chamber) yang memperkuat polarisasi.

Dalam kondisi ini, jurnalis menghadapi dua beban berat sekaligus:

1. Meluruskan informasi yang terdistorsi

  1. 2. Mengembalikan kepercayaan publik terhadap pers.

Tugas yang jauh lebih menantang daripada sekadar menulis berita.

Etika sebagai Napas Profesi

Godaan untuk menyimpang dari prinsip jurnalistik juga semakin besar. Praktik penerimaan amplop, keberpihakan politik, hingga kampanye terselubung dapat merusak integritas pers. Padahal Kode Etik Jurnalistik jelas menegaskan bahwa jurnalis wajib mengedepankan kebenaran dan independensi.

Media boleh beradaptasi dengan digital, tapi etika tidak boleh berubah.

Literasi Digital: Upaya Kolektif melawan Disinformasi

Menghadapi gelombang disinformasi, jurnalis tidak bisa bekerja sendirian. Pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi pers, dan masyarakat harus bersama-sama memperkuat literasi media. Publik harus dibekali pengetahuan untuk memilah informasi yang valid dan mampu mengenali manipulasi.

Semakin cerdas publik, semakin kuat demokrasi.

Penutup

Disinformasi adalah ujian besar bagi dunia jurnalisme. Namun di balik tantangan ini, tersimpan peluang untuk menegaskan kembali nilai-nilai luhur profesi pers: keberanian, profesionalitas, dan integritas.

Ketika kebenaran dipertanyakan, jurnalis harus menjadi pihak pertama yang berdiri tegak membelanya.

Karena pers yang kuat adalah fondasi masyarakat yang tercerahkan.

*) Penulis adalah Pemimpin Redaksi / Penanggung Jawab Media Cetak & Online Fakta Hukum Indonesia (FHI) dan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bekasi Raya

Komentar

Komentar

Mohon maaf, komentar belum tersedia

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

1000008552
Tantangan Profesi Jurnalis di Era Disinformasi Digital 6
1000008555
Tantangan Profesi Jurnalis di Era Disinformasi Digital 7
1000008554
Tantangan Profesi Jurnalis di Era Disinformasi Digital 8
1000008557 1
Tantangan Profesi Jurnalis di Era Disinformasi Digital 9
1000008556
Tantangan Profesi Jurnalis di Era Disinformasi Digital 10
Search