DePA-RI dan KPU Bahas Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu dan Pilkada

Foto bersama Pengurus DePA-RI dan jajaran pimpinan KPU Pusat di Jakarta pada 23 Juli 2025. Sebelumnya mereka berdiskusi terkait putusan MK tentang pemisahan Pemilu Nasional dengan Pilkada (Foto: Dok. Humas DePA-RI)

Jakarta – Pengurus Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) baru-baru ini melakukan audiensi dengan jajaran pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, membahas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan antara Pemilu Nasional dan Pilkada.

Keterangan pers DePA-RI di Jakarta, Jumat (25/7), menyebutkan, audiensi yang dilkukan pada 23 Juli 2025 itu bertujuan memberikan kontribusi pemikiran hukum dari DePA-RI kepada KPU sebagai pelaksana Pemilihan Umum, selaras dengan amanat Pasal 22E ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.

Audiensi dan tukar pikiran dengan KPU Pusat itu merupakan rangkaian dari beberapa kegiatan yang diinisiasi oleh pengurus DPD DePA-RI Jakarta Raya dan akan ditindaklanjuti dengan berbagai aktivitas lainnya sebagai bagian penting dari program DPD DePA-RI Jakarta Raya.

Pada audiensi itu DePA-RI dipimpin oleh Ketua Umum, Dr. TM Luthfi Yazid, S.H., LL.M., didampingi jajaran DPP DePA-RI dan Ketua DPD Jakarta Raya, Kunthi Dyah Wardani, S.H., M.H., CRA beserta jajaran pengurus lainnya.

Kedatangan jajaran pimpinan DePA-RI di gedung KPU Pusat diterima oleh Komisioner KPU Pusat Bidang Hukum dan Pengawasan, Iffa Rosita; Deputi Bidang Dukungan Teknis, Eberta Kawima; Kepala Biro Hukum, Andi Krisna; dan jajaran fungsional KPU Pusat lainnya.

Dalam kesempatan tersebut Komisioner KPU Pusat Iffa Rosita yang merupakan alumni Universitas Mulawarman meminta masukan dari DePA-RI terkait Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.

Inti dari Putusan MK itu adalah pemisahan antara Pemilihan Umum (Pemilu) Nasional dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan MK Itu mengatur perubahan pelaksanaan Pilkada menjadi 2 hingga 2,5 tahun setelah Pemilu Nasional.

Implikasi putusan tersebut menimbulkan kontroversi, mengingat Pasal 22E ayat (1) Undang -Undang Dasar 1945 menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali.”

Apabila Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 diimplementasikan, maka Pemilu Pusat (pemilihan calon anggota DPR, DPD dan Pilpres) dilakukan pada tahun 2029, namun Pilkada (pemilihan Bupati, Walikota, Gubernur, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten) akan diselenggarakan pada 2031.

Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya penambahan masa jabatan anggota DPRD dan Kepala Daerah terpilih menjadi tujuh tahun, dari yang seharusnya lima tahun sebagai mandat konstitusi, Undang -Undang Dasar 1945, sehingga hal ini menjadi masalah serius yang memerlukan solusi komprehensif.

Menurut Ketua Umum DePA-RI, MK yang merupakan “the guardian of the constitution” (pelindung Konstitusi) justru jangan sampai melanggar konstitusi itu sendiri.

Pertimbangan MK itu sendiri memang dapat dimengerti, sebab dalam Pemilu dan Pilpres 2019 (Pemilu serentak) misalnya, jumlah petugas Pemilu yang meninggal begitu banyak. Dengan dipisahnya Pemilu pusat dan pemilu lokal tentu akan meringankan tugas-tugas KPU.

Hanya saja masalahnya, muncul pandangan bahwa MK telah melampaui kewenangannya. MK seharusnya hanya berfungsi sebagai Negative Legislator, namun fakta di lapangan menunjukkan pergeseran perannya menjadi Positive Legislator.

DePA-RI sendiri, menurut Ketua Umumnya, Luthfi Yazid, tetap berkomitmen mendukung KPU sebagai penyelenggara Pemilu yang mandiri sehingga dapat melahirkan Pemilu yang jujur dan adil serta tidak manipulatif.

“Demikian juga dengan MK. Jangan sampai karena kepentingan partai politik tertentu MK dilemahkan, apalagi diamputasi. Kita mesti tetap tegak dengan prinsip negara hukum, Rule of Law,” tegasnya.

Komentar

Komentar

Mohon maaf, komentar belum tersedia

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Search