Sekadar contoh sederhana, sangat banyak sarjana eksakta yang berlatar belakang teknik/teknologi seperti teknik sipil, kimia, biologi, geologi, bahkan kedokteran dan banyak lagi malah bekerja di luar bidang keahliannya.
Artinya, di sini terjadi pemborosan sekaligus penyimpangan anggaran yang rasanya belum pernah mendapatkan perhatian samasekali, kecuali dalam bentuk plesetan seperti, maaf, Institut Perbankan Bogor (untuk IPB), atau Institut Teknologi [per]Bankan (untuk ITB).
Kedua, akan terjadi persaingan yang lebih “sehat” antara PTN dan PTS. Sebagaimana diketahui bahwa PTS selama ini berjuang tanpa mendapatkan subsidi Pemerintah.
Dulu ada secuil subsidi dalam bentuk Dosen yang Dipekerjakan (DPK), artinya gaji dosen PTS dibayar oleh negara karena para dosen tersebut pada hakekatnya adalah PNS yang ditempatkan di PTS. Selain jumlahnya sangat sedikit, konon kebijakan tersebut sudah tidak lagi berlangsung.
Dalam konteks yang lebih luas, bila PTS dapat beroperasi dengan efisien, maka mereka akan dapat ‘mengalahkan’ PTN yang mungkin selama ini sudah terbiasa ‘terbuai’ dengan subsidi Pemerintah.
Patut dicatat bahwa selama ini PTN sangat menikmati berbagai hal dibandingkan PTS. Ini meliputi dan tidak terbatas kepada anggaran negara sepenuhnya dan promosi dengan status PTN-nya. Sesungguhnya tanpa beriklan sama sekali, dapat dipastikan PTN akan selalu menjadi incaran calon mahasiswa cerdas dan berduit.
Ini berbeda dengan PTS yang harus berjibaku beriklan dengan biaya mahal dan berjibaku untuk mendapatkan sisa calon mahasiswa yang tidak lolos dalam jaringan PTN ‘ternama’. Belakangan PTN bahkan pernah diresahkan dengan berbagai program seperti jalur mandiri, dan mereka juga ‘merebut’ calon mahasiswa berduit. Tinggallah PTS dengan segala masalah dan penderitaannya.
Ketiga, dengan adanya ‘persaingan’ harga antara PTN vs PTS akan terjadi ‘pemerataan’ kualitas input Perguruan Tinggi (PT). Selama ini calon mahasiswa pintar akan cenderung memburu PTN top, dengan pertimbangan (selain nama besar), bahwa uang kuliah atau UKT-nya murah.
Hasilnya, para calon mahasiswa yang masuk ke PTS adalah mereka yang suka tidak suka sudah masuk kategori bukan yang terbaik lagi secara akademik, untuk tidak menyebut kelas kedua, karena kelas satu sudah diborong oleh PTN dengan segala kelebihannya.
Ke depan, dengan UKT yang lebih kompetitif, calon mahasiswa yang cerdas dapat mulai mempertimbangkan PTS, karena sudah cukup banyak PTS yang memiliki akreditasi baik atau bahkan unggul. Di masa yang akan datang pula saatnya dibuka peluang yang lebih terbuka dan berimbang antara PTN dan PTS.