KOTA BEKASI – Penggunaan anggaran rumah dinas Walikota Bekasi Tri Adhianto sebesar Rp1,5 miliar per tahun menuai kritik keras. Aktivis sosial-kemanusiaan Kota Bekasi, Frits Saikat, menilai kebijakan tersebut bukan hanya melanggar moralitas, tetapi juga bertentangan dengan asas kepatutan dalam penggunaan anggaran daerah.
“Kalau menurut saya terpulang kepada Bapak Tri Adhianto, apakah beliau lebih mengedepankan pengabdian atau hanya sekadar mencari nafkah. Kalau bicara pengabdian tentu lebih bijak, beretika, bermoral, dan berempati dalam memanfaatkan fasilitas negara. Tapi kalau orientasinya hanya nafkah, maka sah-sah saja melakukan apapun demi mengumpulkan pundi-pundi, meski mengorbankan kepatutan,” kata Frits, Selasa (9/9/2025).
Ia menegaskan, langkah Walikota Bekasi tersebut tidak mencerminkan kepemimpinan yang berlandaskan pengabdian.
“Banyak masyarakat Bekasi rumahnya saja sudah tidak layak huni, sementara pemimpinnya malah menyiasati anggaran rumah tangga semaksimal mungkin untuk kepentingan pribadi,” ujarnya.
Sorotan Hukum dan Administrasi
Selain aspek moral, Frits juga menyoroti sisi hukum dan administrasi penggunaan anggaran tersebut. Menurutnya, alokasi Rp1,5 miliar untuk rumah dinas tidak mencerminkan asas kepatutan dan kewajaran sebagaimana diatur dalam regulasi keuangan daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, APBD seharusnya diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sementara itu, Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 menegaskan bahwa pemanfaatan fasilitas daerah harus efisien, efektif, dan tidak berlebihan.
“Kalau anggaran sebesar itu hanya untuk fasilitas pribadi, jelas bertentangan dengan asas kepatutan dan bisa disebut pemborosan APBD,” tegas Frits.
Ia juga menyinggung aspek etika pejabat publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, yang mewajibkan pejabat mengedepankan akuntabilitas, kepatutan, dan moralitas.
Desakan kepada DPRD dan Aparat Pengawas
Frits mendesak DPRD Kota Bekasi untuk lebih tegas dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap anggaran eksekutif. Ia juga mendorong aparat pengawas internal dan lembaga audit negara seperti BPK untuk menilai apakah penggunaan anggaran tersebut sudah sesuai aturan atau justru masuk kategori pemborosan.
“Saat ini saya melihat Tri Adhianto tidak memiliki kepedulian terhadap kondisi warganya. Karena itu DPRD dan lembaga pengawas harus turun tangan,” pungkasnya. (Dunk)