Prof. Enny meskipun satu alumni dengan saya di Fakultas Hukum UGM dan dia mantan dosen di almamaternya, namun saya belum pernah diajar oleh beliau. Pasalnya, waktu saya menjadi mahasiswa tingkat akhir beliau statusnya masih sebagai asisten baru.
Namun demikian, selepas dari Fakultas Hukum UGM kariernya meroket. Pernah menjadi pimpinan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebelum menjabat sebagai hakim MK.
Seingat saya Prof. Enny sudah dua kali dengan sekarang ikut mengadili sengketa Pilpres, yakni tahun 2019 saat paslonnya Joko Widodo-KH Makruf Amin dan tahun 2024 dengan Paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Dari dua Pilpres tahun 2019 dan 2024, Pilpres 2024 inilah yang paling seru dan hiruk pikuk. Pasalnya karena salah satu cawapresnya adalah putra Presiden Joko Widodo yaitu Gibran Rakabuming Raka yang karier politiknya melompat sangat cepat dari seorang Wali Kota Solo menjadi calon Wakil Presiden Republik Indonesia. Dari mengurus penduduk yang jumlahnya sekitar 500 ribu jiwa kemudian mencoba mengurus penduduk seluruh Indonesia yang jumlahnya sekitar 280 juta jiwa.
Tapi, persoalannya bukan di situ. Gibran yang semula tidak memenuhi syarat untuk menjadi cawapres karena belum cukup umur pada akhirnya bisa menjadi cawapres karena campur tangan pamannya yang juga mantan Ketua MK, Anwar Usman yang dengan kasak kusuknya memberi jalan melalui kutak katik Putusan MK Nomor: 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai kontroversial.
Menurut Yusril Ihza Mahendra Putusan MK tersebut mengandung cacat hukum serius, bahkan mengandung penyelundupan hukum. Putusan MK Nomor: 90 itu problematik dan berdampak jangka panjang, tandas Yusril Ihza Mahendra.
“Kalau saya Gibran”, kata Yusril, “Saya tidak akan maju dalam pencawapresan”. Yusril mengkritik dengan sengat atas putusan MK Nomor: 90 tersebut, namun aneh bin ajaib, Yusril sendiri justru menjadi Ketua Tim Hukum Nasional (TKN) Paslon Nomor 02 yang dengan terang benderang membela Gibran habis-habisan.
Sejatinya Putusan MK Nomor: 90 itu bukan self-executing. Artinya, harus ditindaklanjuti terlebih dulu oleh KPU dengan mengubah Peraturan KPU No. 19/2023 (PKPU No. 19/2023) yang lama. Tapi hal itu tidak dilakukan KPU. Bawaslu juga sikapnya pasif padahal menurut UU Pemilu harusnya super aktif dan harus melakukan pengawasan melekat.
Politisasi bansos juga tak kalah serunya. Bahkan orang-orang istana termasuk Presiden Joko Widodo turun tangan untuk memastikan kemenangan putranya. Netralitas Polri, TNI, birokrasi, aparat desa menjadi persoalan penting yang diperdebatkan dalam persidangan di MK.
Kuasa hukum Paslon 02 selalu berkelit dengan alasan bahwa MK tidak berwenang mengadili, karena MK hanya berwenang mengadili hasil (outcome) dan bukan proses. Kalau terkait proses, kata mereka, harus diselesaikan di tingkat KPU, Bawaslu atau Gakumdu. Masalahnya, kalau penyelenggara Pemilu tidak menjalankan tugasnya dan kemudian diajukan permohonan kepada MK oleh paslon 01 dan 03, apakah MK harus menolak? Terus siapa yang akan memutuskan sengketa Pilpres?
Sebagai satu-satunya perempuan di dalam majelis hakim MK, Prof. Enny sangat diharapkan menjadi Dewi Themis atau Dewi Keadilan yang merupakan personifikasi dari keadilan dan kehendak dalam mitologi Yunani yang sangat dihormati para dewa. Themis sering digambarkan dengan pedang keadilan dan timbangan. Themis akan menutup matanya dan menebas dengan pedangnya demi keadilan kepada siapa pun yang menghalangi tegaknya keadilan. Ia akan menegakkan keadilan meskipun langit runtuh (fiat justitia ruat caelum).
Adalah wajar, sebagai satu-satunya hakim MK perempuan, Prof. Enny sangat diharapkan menjadi pejuang emansipasi keadilan sebagaimana Raden Ajeng Kartini, dan Dewi Themis (Dewi Keadilan) yang mampu menyingkap tabir yang menyelubungi nilai-nilai kebenaran. Kata Kartini: habis gelap terbitlah terang!
*TM Luthfi Yazid, advokat, dosen dan alumnus School of Law University of Warwick, Inggris (British Chevening)