Ia menyatakan, Menteri ATR/BPN tidak perlu ragu dakam kasus ini. Rangkaian Peralihan 2 SHM dari Djohan Effendi ke Santoso Halim itu diawali dari cacat administrasi dan kelalaian petugas BPN Jakarta Selatan dalam mencabut permohonan Blokir 2 SHM yg diajukan Djohan Efendi kepada Kepala BPN Jaksel.
Apalagi, Mahkamah Agung telah mengabulkan permintaan peninjauan kembali (PK) atas Putusan Kasasi No 2721 K/Pdt/2021 itu yang sebelumnya diajukan oleh ahli waris, yakni Luthfi Adrian dan Siti Sarita melalui kuasa hukum pada 21 September 2022.
Adapun objek perkara kasus ini, yaitu sebuah rumah di Jalan Kemang V No.12, Mampang Prapatan Jakarta Selatan milik Djohan Effendi yang diambil alih oleh sindikat mafia tanah melalui jual beli bodong.
“Alhamdulillah pada 3 Mei 2023, kami sah secara hukum, bahwa objek perkara yang terletak di Jalan Kemang V No 12 Jaksel adalah milik Djohan Effendi atau milik ahli warisnya yang sekarang adalah Ibu Sarita dan Bapak Lutfi Adrian. Jadi perkara ini sudah kami menangkan melalui putusan majelis di peninjauan kembali MA,” kata kuasa hukum korban, Arlon Sitinjak.
Kasus itu sendiri bermula saat rumah tersebut dikontrakkan kepada Husin Ali Muhammad (59) pada 2016 seharga Rp 45 juta per bulan. Husin disebutkan sering mengadakan acara di rumah itu dan ikut mengundang korban.
Selang beberapa waktu, pelaku meminjam dua sertifikat (SHM) korban dengan dalih ingin menurunkan daya listrik. Awalnya Djohan hanya memberikan berupa fotocopy-an saja, namun Husin kembali berdalih jika PLN meminta menunjukkan SHM asli.
Untuk meyakinkan korban, pada 12 Juli 2016, pelaku membawa serta petugas PLN abal-abal yang dilakoni oleh Fauzi. Alhasil korban pun meminjamkan kedua sertifikat asli yang kemudian dipalsukan oleh pelaku.
“Begitu diserahkan, hanya beberapa menit dikembalikanlah sertifikat yang sudah dipalsukan sebelumnya oleh pelaku dan aslinya sudah mereka kuasai,” ujar Arlon.
Mantan Kasat Narkoba Polres Metro Bekasi itu melanjutkan, pelaku yang memegang sertifikat asli, bersama dengan sosok Djohan Effendi abal-abal yang diperankan Halim (DPO), menjual rumah korban kepada Santoso Halim seharga Rp 15 miliar.
Lalu tanggal 12 Agustus 2016 dibuatlah akta jual beli bodong itu seakan-akan terjadi transaksi yang sah di hadapan Notaris/PPAT Lusi Indriani. Dalam transaksi tersebut, Santoso mentransfer sebesar Rp 8 miliar. “Yang membuat sangat janggal, uang pembelian bukan diserahkan kepada si penjual, yaitu Halim DPO atau Djohan Effendi, tetapi diserahkan kepada Husin,” ungkap Arlon.