Perjuangan Guru SMPN 1 Sarang Jadi Penatacara:Dari Peluh Air Mata Hingga Panggung Kehormatan

Foto.Dok Istimewa

REMBANG – Di balik tutur kata lembut dan intonasi bahasa Jawa yang begitu memikat dari seorang Panatacara bernama Kusnanto, S.Pd., tersimpan kisah perjuangan hidup yang luar biasa.

Saat ditemui oleh awak media Fakta Hukum Indonesia pada Rabu (9/4/2025), di sela waktu istirahat mengajarnya di SMP Negeri 1 Sarang, Kusnanto dengan tenang membuka lembaran masa lalunya yang penuh liku, keteguhan hati, dan tetesan air mata.

Kusnanto mengisahkan bahwa dirinya awalnya memasuki dunia Panatacara bukan karena impian, tetapi karena keterpaksaan.

“Awalnya saya terjun ke dunia Panatacara karena terpaksa, bukan karena cita-cita,” ujarnya lirih.

Tahun 2009 menjadi awal masa sulit dalam hidupnya, ketika ia masih menjadi guru tidak tetap (GTT), dan anak pertamanya masih balita serta sangat membutuhkan susu setiap hari. Kebutuhan pokok yang tak bisa ditunda memaksanya untuk mencari jalan tambahan demi memenuhi tanggung jawab sebagai ayah dan suami.

“Saya lakukan pekerjaan apa saja asalkan halal,” ujarnya penuh haru.

Cinta kepada keluarga menjadi kekuatan utama bagi Kusnanto untuk terus berjuang, meskipun tubuh lelah dan pikiran penat. Ia yakin bahwa kerja keras tak akan mengkhianati hasil, terlebih jika dilandasi oleh niat yang baik dan tulus.

Suatu hari, ia mendengar suara seorang Panatacara dalam sebuah hajatan manten di kampungnya. Penggunaan bahasa Jawa Krama Inggil yang indah memukau hatinya. Dari situlah muncul ketertarikan dan semangat belajar secara otodidak.

Ia meminjam buku berjudul Kagem Panatacara Tuwin Pamedar Sabda dari temannya dan mulai belajar setiap malam, walau tubuhnya letih setelah bekerja seharian.

Setelah tiga bulan belajar mandiri, Kusnanto memberanikan diri mencoba menjadi Panatacara. Meski awalnya hanya dibayar dengan ucapan terima kasih, ia tidak menyerah.

Lambat laun, honornya naik menjadi Rp20.000 lalu Rp50.000. Pada tahun 2013, ia mengambil langkah serius dengan mengikuti pelatihan selama enam bulan di PERMADANI Rembang, atas saran seorang senior, Bapak H. Sartono,S.Pd (Alm). Namun, setelah lulus, dunia Panatacara seakan menutup pintu. Ia vakum cukup lama karena tidak memiliki jaringan atau relasi.

Barulah pada tahun 2017, sang istri mendorongnya untuk kembali tampil demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, terutama susu anak.

“Saya sempat gemetar karena lama tidak tampil, tapi saya harus berani demi anak-anak,” katanya dengan mata berkaca.

Dari penampilan pertamanya setelah vakum, ia hanya menerima bayaran Rp120.000. Namun dari momen itu, pintu rezeki mulai terbuka lebar.

Kusnanto pun diperkenalkan kepada Hj. Kundhoifah, seorang perias manten dari Kalipang, Sarang. Dari situlah, ia dipercaya menjadi Panatacara tetap di TIGA PUTRI. Sejak tahun 2019, namanya mulai dikenal luas, bahkan sering kali harus menolak job karena jadwal yang padat. Dalam satu bulan, ia bisa mengisi hingga 15 acara manten, terutama saat bulan-bulan Jawa seperti Syawal, Besar, Bakda Mulud, dan Rejeb.

Namun di balik kesibukannya di panggung manten, Kusnanto tetap setia pada tugas utamanya sebagai guru Matematika di SMP Negeri 1 Sarang.

Ia mengajar setiap hari Senin hingga Sabtu dengan disiplin dan dedikasi tinggi. Khusus hari Minggu, hari libur nasional, atau malam hari saat ada acara manten, ia baru melayani sebagai Panatacara.

“Saya ini guru, itu tugas utama saya. Dunia seni hanya bonus dari Allah SWT,” ungkapnya rendah hati.

Kini, Kusnanto tinggal bersama istri tercintanya, Tumiyati, S.Pd., di Desa Dadapmulyo. Tumiyati saat ini tengah menempuh pendidikan S2 di Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

“Doakan istri saya semoga lancar studinya dan bisa berbagi ilmu di dunia pendidikan,” harapnya. Kisah mereka adalah cermin dari ketekunan, ketulusan, dan cinta yang tak lekang oleh waktu.

Kisah hidup Kusnanto bukan sekadar cerita tentang profesi. Ini adalah kisah tentang perjuangan seorang ayah demi setetes susu untuk anaknya, tentang keberanian melangkah di tengah keterbatasan, dan tentang guru yang tak pernah melupakan panggilan tugas.

Sebuah kisah inspiratif yang mengajarkan bahwa di balik setiap kesuksesan, sering kali tersembunyi air mata, keringat, dan doa dalam senyap yang terus menyala.

(Mu’ti H.)

Komentar

Komentar

Mohon maaf, komentar belum tersedia

Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.

Berita Terkait

Search